PINDAH
Ketika kamu asik scroll Instagram lalu yang kamu sering dapati foto bayi lucu pada akun temanmu. Mungkin kamu harus sadar, sudah cukup bermain-main dengan waktu.
16.50 – KFC Km.4,5
Hal yang tidak pernah berubah sejak enam tahun lalu dari kami
adalah curhat di KFC. Entah kenapa menyampaikan keluh kesah sambil makan kulit
ayam terasa nikmat. Gue masih suka minum mocha float dan ayam crispy paha atas
dengan sedikit saus tomat, dan Icha masih suka makan Yakiniku box dengan air
mineral O2 dan terkadang juga ditambah sup ayam atau puding.
‘Sory ya, gue kemarin sibuk jadi gak bisa datang ke acara
hantaran lu.’ kata gue sambil mencocolkan kulit ayam ke atas tomat.
‘Iya bawel, nggak papa yang penting lu harus datang ke
nikahan gue’ Icha ngomong dengan mulut yang dipenuhi nasi sambil
menunjuk-nunjukan garpu ke muka gue ‘dari SMP kita temenan dan lu juga yang
jodohin gue sama Ari, kan? Masa lu tega sampai gak datang nanti, dit. Lu kan
temen baik gue’
Gue terharu, baru kali ini Icha ngomong baik sama gue.
‘Bantu ngangkat piring kek, gak usah nyuci.’
‘Si kampret!’
Kalian yang sudah mengikuti tulisan gue di blog dan buku
tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok sahabat cewek gue satu-satunya ini,
atau tepatnya yang mau temenan sama gue sampai sekarang. Kurang lebih Sembilan
tahun kami sudah saling kenal, keburukan masing-masing diantara kami sudah
cukup tahu satu sama lain, bahkan tanpa saling bercerita langsung kadang filing
antara kami cukup kuat.
Gue udah cukup tahu gelagat Icha saat dia butuh temen bicara.
Dan Icha juga cukup tahu gelagat gue saat mau ngutang.
Sembilan tahun yang cukup lama kalau menurut gue untuk saling
tahu satu sama lain, diawali dari kami yang dulu sok nyariin pacar buat
masing-masing. Gue masih ingat saat kami pertama kenal saat itu kami satu kelas
di kelas 3 SMP, gue ngejodohin Icha sama temen gue si Ari yang sekarang akan
menjadi suami Icha. Icha juga pernah ngejodohin gue dengan temannya bernama Kety. Tapi bedanya gue enggak berjodoh.
Persahabatan kami enggak kayak FTV yang ada marah-marahannya,
terus sok-sokan temenan lagi. Kami cukup bisa saling mengerti satu sama lain.
Contoh, sewaktu kami awal masuk kuliah dan punya pacar masing-masing.
Gue yang empat tahun dibayang-bayang mantan pacar,
saat itu menemukan orang yang mampu menarik gue dari keterpurukan dan berselang
enggak lama Icha juga punya pacar baru di kampus barunya. Pacar gue saat itu
tidak masalah kalau gue mau ketemu berdua sama Icha buat sekedar ngobrol atau
jalan, namun berbeda dengan pacar Icha waktu itu yang super posesif.
Jangan kan dapat izin untuk ketemu gue yang jelas-jelas
sahabatnya, nomer HP cowok dikontak Icha aja hanya ada dua; Ayahnya dan si pacar
kampret. Kami sempat beberapa kali mencuri waktu untuk bertemu, gue masih ingat
juga saat itu Icha curhat dengan pandangan yang kosong. Dia tidak menyangkan
kalau bisa bertahan dengan cowok kasar dan posesif selama kurang lebih dua
tahun.
‘Cha… kita udah sama-sama dewasa, nasehat yang gue sampein ke
lu nggak harus juga lu turuti. Lu udah cukup dewasa untuk ngambil resiko yang lu
punya, gue nggak mau nantinya apa yang gue saranin malah membuat lu nyesel.
Tapi, kalau gue jadi lu dan punya pacar kayak gitu udah jelas enggak gue
pertahanan.’
Kalimat itu yang terucap dari gue buat Icha saat dia
benar-benar merasa tertekan dengan hubungan yang dia jalani bersama cowok
posesif itu. Gue berusaha memberi solusi terbaik namun tidak memaksa, karena
gue rasa kami sudah cukup dewasa. Dan gue masih ingat saat mengucapkan kalimat
itu, langit di kepala gue juga sedang kelabu. Hubungan gue saat itu juga
diujung tanduk.
Sekarang, empat tahun lebih kejadian itu sudah berlalu. Dan
sekarang Icha siap membuka lembaran baru dengan hubungan yang lebih serius tapi
masih dengan orang yang lama, Ari.
‘Lu sendiri gimana, dit?’ tanya Icha. Daging ayam yang belum
selesai gue kunyah tiba-tiba tertelan langsung.
‘Gimana apanya?’ gue lalu menghisap mocha float yang sudah
habis setengah.
‘Kapan nyusul gue…’
‘Nikah?’ potong gue.
‘Dijemput malaikat Izrail!’
Gue nangis.
Entah kenapa waktu terasa sangat cepat berlalu. Beberap bulan
yang lalu teman SD gue datang ke Banjarmasin, setelah cukup lama pindah ke
Malang. Malam itu gue mengajak dia mampir ke rumah teman-teman SD kami dulu, lalu
tak lupa mengajaknya makan malam ke restoran khas Banjar. Setelah selesai gue
mengantarnya pulang, kami pulang memutar melalui jalan-jalan yang dulu sering
kami lewati sewaktu semasa kecil dengan sepeda.
Dulu tempat ini adalah yang paling jauh kami datangi sepulang
sekolah atau sore hari saat bermain. Dulu jalan-jalan ini terlihat besar dan
kami hanya berani menepi menyisiri pinggir jalan sambil tetap berhati-hati.
Namun sekarang jalan ini bukan yang paling jauh kami injak, kami bahkan sudah
berani melewati lautan seorang diri, jalan ini bukan yang paling besar kami
lewati semuanya sudah terlihat kecil dan biasa-biasa saja, yang besar cuman
satu; masalah yang tiap hari harus kami hadapi sebagai orang yang sudah
memiliki tanggup jawab atas diri sendiri, bahkan urusan relationship.
‘Dit..’ suara Icha memecah keheningan ‘usia kita udah
seperempat abad, sudah cukup untuk masalah cengeng kayak gini. Gue tau, lo udah
beberapa kali mencoba sama orang baru, udah coba jatuh cinta berkali-kali, tapi
selalu gagal. Emm… lebih tepatnya gak bisa jatuh cinta.’
Gue cuman diam sambil mendengarkan, pandangan gue sesekali
mengarah ke jalan raya.
‘Sebenernya ikhlas gak sih, Dia udah sama orang lain?’
Gue menarik nafas panjang.
‘Yaa… gue cuman belum ketemu sama orang yang gue butuh cha…’
‘Belum ketemu atau belum nyatain? Itu bedanya jauh, dit.’
‘Tapi cha, gue nggak mungkin LDR lagi.’
Sewaktu gue masih berseragam putih biru, gue pernah mencoba
menjalani hubungan yang gue sebut cinta pertama atau bahasa classic nya cinta monyet. Saat itu usia gue sekitar dua
belas tahun dan pernah menjalani hubungan hampir dua tahun, ya masa dimana rambut-rambutan
sudah mulai tubuh diantara lipatan badan. Perempuan itu bernama, Bunga.
Bagaimana gue nggak punya perasaan yang terlalu cemburu
bahkan seperti tidak punya rasa takut kehilangan, masa dimana gue lebih banyak
menikmati playstation 2 ketimbang berbalas SMS. Sehingga kami memang jarang ada
komunikasi mentok-mentok ngobrol singkat pas di ekskul PMR, namun kami tetap coba
saling menjaga perasaan satu sama lain dengan cara tidak akrap dengan lawan
jenis. Segitu ngertinya ya gue zaman dulu.
Beberapa hari sebelum Ujian Nasional, Bunga memberi tahu gue
kalau dia akan melanjutkan sekolah SMA nya di Kandangan. Disini selain rambut
ketiak ternyata diam-diam tumbuh perasaan takut bernama; jarak.
Rencananya setelah lulus SMP gue akan melanjutkan sekolah
yang sama dengan Bunga, namun setelah mendengarkan keputusan darinya gue
berubah pikiran. Banjarmasin – Kandangan mungkin tidak terlalu jauh hanya 5 jam
perjalanan pakai motor, namun bagi siswa yang cuman punya sepeda capung kayak
gue, 5 jam perjalanan bisa jadi 5 dasawarsa kalau harus gue tempuh pakai sepeda.
Sedikit berbeda dengan anak sekolah yang pacaran pada umumnya
yang mendekati ujian bakalan bilang ‘kita
putus dulu ya, aku mau fokus ujian’ terus setelah ujian nyambung sama temennya
sendiri. Yhaaa! Buka, bukan. Alasan gue mutusin Bunga cukup logis; jarak adalah
masalah bagi gue, gue krisik kepercayaan. Dan kami akhirnya harus putus. Gue
tidak pernah percaya dengan long distance
relationship.
14.15 Januari 2018
Bandara Soekarni-Hatta pintu 1A keberangkatan dari Jakarta menuju Banjarmasin – Saat gue sedang menunggu keberangkatan
pesawat gue lagi asik main mobile legend
lalu tiba-tiba ada sosok yang tidak asing lewat di depan gue dari arah kanan dan
dia hanya berlalu, beberapa detik gue pandangi bahunya seperti sosok yang gue
kenal, wanita dengan jubah navy. Karena saat itu sambil main game gue jadi
nggak terlalu mikir siapa orang tersebut, lalu nggak lama suara dari petugas
bandara memanggil.
‘Pesawat Lion Air
dengan nomer penerbanga Lion Air – JT 326 tujuan Banjarmasin Dipersilahkan
menaiki pesawat udara’
Bergegas gue mengeluarkan game, memasukan handphone ke
kantong celana, lalu mengambil tiket yang gue selipkan di dalam case handphone.
Saat mengantri sosok yang tadi gue rasa tidak asing berdiri tepat di depan,
namun dia tidak sendirian ada seorang lelaki dengan badan yang lebih tinggi
beberapa centimeter dari gue. Sosok wanita yang menggunakan pakaian warna navy
itu lalu sedikit berpaling menghadap si lelaki, sedetik setelahnya gue berasa
mati rasa.
‘KAMPRET! BUNGA!’ ucap gue dalam hati dan gue baru sadar kalau itu adalah
pacarnya. Gue langsung menunduk, pura-pura menutupi muka sambil nunduk dan
memperlambat langkah lalu membiarkan orang di belakang gue jalan duluan. Entah
kenapa ini pengalaman paling gak enak banget gue alami, siapa yang menyangka
bakalan ketemu cinta monyet atau
mantan di Bandara.
Gue emang udah gak ada perasaan apa-apa lagi, dan Bunga juga
udah punya pacar. Tapi tetap aja gue nggak berhenti komat-kamit, satu-satunya
harapan yang gue mohon cuman satu; semoga tidak satu kursi sama mereka!
Beberapa tahun lalu setelah cukup lama menjomblo gue coba
memberanikan diri untuk LDR, bahkan gue sendiri belum pernah ketemu dengannya
sekali pun, kami hanya berkenalan lewat twitter
saat itu dan berlanjut di whatsapp. Lalu
pada akhirnya gue berjudi dengan perasaan sendiri, walau endingnya sudah bisa ditebak.
Hubungan gue kembali gagal karena hal yang gue yakini.
Esensi dari sebuah hubungan adalah ketika orang yang kita cintai selalu ada disamping kita. Bukan tersekat kuota.
‘Lo udah cerita dia kayak gimana, gue juga udah liat kok
walau cuman lewat foto. Mending coba dulu deh nyatain.’ Icha masih bersikeras
untuk menyakini gue.
Terjadi hening beberapa saat, yang terdengar hanya suara orang
yang asik ngobrol di sekitar kami sambil menikmati makannya dan rasa tanda
tanya dalam diri ini, apa harus gue coba? Icha menarik nafas panjang lalu
menghembuskannya perlahan.
‘Yang penting itu komitmen, Itu yang kami pegang banget waktu
gue dan Ari menjalani hubungan LDR. jarak bukan hal yang selamanya harus
ditakuti, dit.’ Icha meneguk minuman terakhirnya. ‘Dan jangan lupa, selesaikan
urusan lo yang belum selesai.’
- - - // - - -
17.40 – Karimunjawa sunset
barb BVB
Desir ombak yang cukup tenang dan angina sejuk yang tak
berhenti berhembus, pelan namun pasti matahari mulai menuju peristerahatannya. Warna
langit berubah menjadi jingga, cantik. Tapi yang cukup buruk cuman satu, gue
harus menikmatinya dengan cowok.
‘Mas adit’ ujarnya menepuk pundak gue ‘mau?’ dia menyodorkan
botol hijau beruliskan; Bintang.
‘Maaf mas, saya enggak minum itu.’ Ujar gue mencoba untuk
menolak dengan sopan, tour guide bernama Bisma hanya tersenyum dan menganggung.
Gue menikmati waktu-waktu terakhir liburan selama di Karimunjawa,
dan dihari ketiga ini gue dan beberapa wisatawan lainnya diajak ke Sunset Bar
untuk menikmati ke indahan matahari terbenam sebelum gelap datang.
Matahari sudah berada bada ujungnya, hampir tenggelam. Jingga
mulai nampak dan hanya memiliki waktu beberapa saat lagi maka dia akan berubah
menjadi kegelapan. Semua orang sibuk mengabadikan dengan handphone
kesayangannya. Ada yang hanya memoto senja dan ada pula yang berselfie ria, dan
beberapa lainnya lebih memilih untuk menikmati. Termasuk gue.
Bagi gue hal yang indah cukup diingat di kepala bukan dalam
bentuk foto, bukan berarti gue nggak suka tapi menikmati waktu berdua jauh
lebih indah. Tapi sekali lagi, ini moment yang cukup awkward karena harus berdua
dengan mas Bisma.
Namun selama berada disini mas Bisma bukan hanya menjadi
toure guide tapi juga menjadi teman baik, dia mau menemani gue banyak ngobrol
dan mau gue repotin pas snorkeling. Maklum gue nggak punya sedikit pun
sebelumnya pengalaman menyelam walau di air dangkal, satu-satunya kedalaman air
yang pernah gue selami adalah kolam anak-anak, itu pun cuman sampai dengkul.
‘Mas adit. Maaf nih mas sebelumnya.’ Mas Bisma bicara dengan
bahasa yang agak mendok.
‘Iya mas?’
‘Tapi beneran minta maaf ya mas sebelumnya hhe.’
‘Iyaaa, kenapa sih mas?’
‘Selama lima tahun saya jadi tour guide disini, baru kali ini
ketemua orang yang mau liburan kesini tapi sendirian.’
‘Yaelah, kiran apa tadi. Nggak papa kok mas, temen saya cuman
nggak ada yang bisa aja. Pada sibuk kerja semua. Lagian kan ini emang bukan
musim liburan?’
‘Terus kok mas nya bisa izin kerja?’
‘Hehee… diem aja ya tapi mas, saya bilang kalau sepupu saya
nikah di Jepara. Padahal sepupu saya nikahnya di Banjarmasin aja.’
‘Wahh!!!’ Suara mas Bisma membuar orang-orang disekitar terkejut dan memperhatikan kami
berdua ‘Mantul, mas. Hihi.’ Ujarnya sambal memberikan dua jempol tangan.
Mas Bisma punya perawakan gempal dan cukup item, wajar ajas
ish karena memang kerjaannya sebagai toure guide harus berteman ria dengan laut
dan matahari. Tapi dia cukup asik dan lucu, bahkan paham banget dengan kondisi
wisatawan jomblo kayak gue, dengan setia dia mau nemenin cukup intents.
Selama tiga hari disini banyak cerita yang sudah kami
bagikan, terutama masalah asmara. Gue cerita tentang beberapa wanita yang
sempat dekat lalu menghilang entah kemana, dan masalah yang sedang gue hadapi.
Dia juga banyak berbagi cerita tentang perjalanan sebagai tour guide ketemu
orang-orang dari berbagai kota bahkan negera. Sering ketemu kelakuan para turis
yang aneh-aneh, tapi dia jujur banget kalau masih nggak percaya ketemu
wisatawan jomblo kayak gue. Oke, kalimat jomblo sebaiknya tidak perlu di tulis
lagi.
‘Gini mas adit’ dia membenarkan posisi duduknya, berusaha
mencari posisi enak untuk menaruh pantatnya karena kami sedang duduk di atas
batu karang. ‘Mas jangan sampai kayak saya.’
‘Siapa juga yang pengen jadi gendut, item lagi.’
‘Heh! Bukan yang itu.’
Gue ketawa sejadi-jadinya.
‘Maksud saya gini. Mas jangan sampai menyesal lagi, cukup
sekali mas.’
‘Maksudnya gimana mas Bisma?’
‘Di pulau ini tuh, ada perempuan ayu banget, saya suka sama
dia. Saya kenal dia pas baru aja jadi tour guide disini, Kami akhirnya dekat,
saya sering ajak dia ke alun-alun makan ikan bakar tuh tiap malam minggu,
sempet dia kenalin juga sama ayahnya…’ matahari sudah tenggelam setengah dan wajah
cerianya kali ini tiba-tiba hilang ‘tapi beberapa bulan lalu, dia nikah sama
anaknya kepala desa.’
Setelahnya gue tiba-tiba ingat obrolan sama Icha.
‘Sebenernya sih mas, dia juga suka sama saya dan saya juga
udah niat mau nikahin dia. Udah kerja double pula waktu itu biar cepet
kekumpul, eh ternyata diam-diam ayah nya gak setuju. Katanya kerjaan saya nggak
bisa ngejamin masa depan anaknya.’
Dia mengambil kembali botol hijau yang tadi ditaruh di atas
karang, lalu meneguk habis semuanya.
‘Kan rezeki udah ada yang ngatur, toh kita semua dikasih
rezeki sesuai porsinya tapi kenapa ayah nya kayak gitu ya, mas.’
Suaranya
terdengar pelan dan cukup terasa mendung di wajahnya. Entah karena pengaruh
alkohol atau apa, tapi gue baru tahu kalau orang mabuk bisa sesedih ini.
‘Tapi saya tidak terlalu menyesal mas adit, setidaknya dia
udah tau kalau saya sayang dia, dan saya udah ada usaha.’ Dia tersenyum
diantara rasa sedih.
‘Jangan nyerah ya mas hhe.” Cuman kalimat itu yang bisa gue
ucapkan. Gue nggak tahu harus ngomong kayak gimana karena belum pernah berada
diposisi mas Bisma.
‘Mas juga, jangan nyerah dulu… kan belum tau jawabnya.’
Mas Bisma memegang pundak gue dan kami saling bertatapan.
Nggak lama semua orang di pulau itu mati mengapung di bibir pantai.
- - - // - - -
17.30 – di samping
jendela kaca, sebuah kedai kopi
‘Bentar ya de, mau ke toilet dulu.’
Gue buru-buru pergi sebelum dia mengiyakan. Di toilet gue
cuman diam di depan cermin menatap diri sendiri, jantung gue berdebar tidak
seperti biasanya. Gue lalu mengambil sedikit air dan mengusapkannya ke wajah,
mengelapnya dengan tisu lalu kembali.
Tempat ini menjadi yang paling sering kami datangi di sore
hari setelah pulang kerja pukul 17.00, seperti bias gue selalu memesan minuman
kopi dan dia yang hanya memesan minuman manis.
Matahari semakin
turun, posisi kami duduk tepat disamping jendela sehingga cukup terasa
bagaimana hangatnya matahari di luar sana walau kami duduk di dalam ruangan
ber-AC. Obrolan semakin menarik, namun entah kenapa hari ini gue dan Dia lebih
banyak membahas kejadian-kejadian lucu yang pernah kami lalui beberapa tahun
lalu.
Kami tumbuh, kami berubah, namun sampai sekarang senyum dari
bibir tipis Dia masih tetap sama. Gue ingat cerita tujuh tahun lalu yang pernah
gue tulis di blog dan di buku, saat menghadiri perpisahan Dia di SMP.
Saat sesi hiburan beberapa siswa mendekati panggung berjoget
ria tenggelam dalam lagu Cherisya – Kisah kasih di sekolah . Dan saat itu gue
diam-diam menghampiri Dia, duduk diantara kursi kosong tepat dibelakangnya
sambal memegang handycam Sony dan berniat ingin mengambil gambarnya.
Saat gue udah siap-siap mau ngerekam, tiba-tiba salah satu
teman Dia teriak-teriak memanggil.
‘Eh, itu kak adit di belakang kamu!’
Kampret. Dia berbalik badan dan spontan memanggil gue, gue
yang udah kaget malah kepecet tombol foto. Dan saat itu gue enggak sengaja
mengambil dua foto wajahnya yang begitu dekat, dengan senyum malu-malu dan
begitu polos.
Lucu bagaimana dulu kami dipertemukan oleh kejadian saat gue
memeluk pohon sukun, ekskul PMR, dan mulai dekat lewat Friendster (Kalian yang tahu Friendster berarti kita harusnya udah
menikah). Kedekatan kami saat gue dan Bunga sudah mulai menjauh. Hmm… kisah SMP
gue gini amat, ya. Penuh drama.
Lucu bagaimana dulu gue dan Dia sempat berkelahi lalu gue
minta ditusuk pakai pulpen dengan hiasan boneka Domokun di atasnya di samping
stadion bola, dan sempat berfikir kami tidak akan pernah berteman lagi sejak
kejadian itu. Tapi kenyataannya kami masih bisa saling bersama, namun tentu
dalam status yang tidak akan pernah lagi seperti dulu.
Lucu bagaimana dulu gue malah jadi teman curhatnya saat
hatinya mulai lemah pada seseorang yang jauh disana, gue sebisa mungkin malah
membuat hubungannya tetap bertahan padahal waktu itu gue berharap Dia bakalan
kembali. Lucu bagaimana selanjutnya saat awal Dia masuk kuliah, Dia meminta gue
untuk memilih cowok mana yang cocok buat dijadikannya pacar, betapa gilanya gue
saat itu.
Ada juga yang paling lucu lainnya. Gue masih ingat kejadian
itu di hari sabtu, gue kebetulan pulang kerja lebih cepat dari biasanya lalu
sebelum Dzuhur Dia mendadak telepon gue dengan nada yang sendu, saat itu Dia
sedang down banget soal pacarnya dan meminta gue untuk menemaninya.
Gue jemput Dia di rumah, lalu pas gue tanya ‘kita mau kemana’ Dia enggak kasih tau
detail tempatnya namun hanya menunjukkan arah. Kami berada tempat di depan
rumah seseorang di daerah Kelayan, entah rumah siapa ini namun dari luar gue
membaca sebuah tulisan di depan pintu.
JAM OPERASIONAL 09.00 – 17.000 MINGGU DAN HARI LIBUR TUTUP
Tidak ada petunjuk bahkan hal yang mencurigakan dari luar,
sampai akhirnya gue masuk ke dalam. ‘KAMPRET!
Ngapain ke tempat beginian.’ Gue cuman diem duduk di belakang Dia, lalu
tiba-tiba dari balik pintu keluar seorang Aki-aki dengan janggut putih dan berjalan
pelan agak membungkung, ia duduk dan memegang tangan Dia. Hmm… Baru ketemu udah
pegangan, gue yang sudah kenal lama aja
baru sekali, itu juga cuman nyentuh ujung jarinya pas hari raya idul
fitri.
‘Hmm… gitu ya, hmm…’ Aki-aki ini lalu ngasih pulpen dan
secarik kertas ‘Sekarang tulis nama kamu dan pacar kamu, jangan lupa tanggal
lahir kalian.’
Yap! Setelah membaca kalimat di atas kalian udah tahu gue
berada dimana.
Dan sepulang dari tempat itu gue enggak bisa menahan, betapa lugu
orang yang terlalu jatuh cinta. Sepanjang jalan gue ngetawain Dia, dan dengan
polosnya Dia juga kebingungan kenapa sampai ngelakuin hal itu.
Dulu kami hanya sering bertemu saat menggunakan seragam
putih-biru diwaktu istirahat dan hanya memiliki tanggung jawab untuk belajar
dan mengerjakan PR. Sekarang, kami bertemu dengan pakaian yang sudah memiliki
tanggung jawab atas pekerjaan dan diri sendiri.
Gue juga cerita tentang teman-teman SMP angkatan yang sudah
menikah dan sebagian yang juga sudah memiliki anak. Dia juga cerita soal
teman-temannya yang udah banyak menikah dan beberapa lainnya masih sibuk dengan
SKRIPSI.
‘Kenapa ya waktu berjalan cepet banget ka?’
‘Bukan waktu yang cepet lewat, tapi kita yang terlalu sibuk.’
‘Iya juga sih ya, kita terlalu sibuk mengejar mimpi…’
‘Lalu lupa, bahwa kita juga harus menikah’ Kami saling
pandang dalam diam beberapa detik, ada perasaan yang aneh sepertinya ada
kupu-kupu yang menari dalam perut ‘Maksud kakak, setiap manusiakan pasti
menikah, beranak, menjalani hari-hari lalu mati. Ya kan?’
18.00 – Cahanya ungu mulai menghilang
diantara Gedung-gedung tinggi diiringi langit gelap yang mulai menyelimuti.
Hangatnya pun mulai hilang perlahan dan udara dingin mulai terasa lebih menusuk
menyelinap masuk diantara kemeja, ada yang harus diakhiri segera.
‘De, jadi…’ gue sedikit menahan ‘ada yang pengen kakak kasih
tau.’
‘Iya.’ matanya menatap sangat lekat, penuh tanya.
Jantung gue berdebar tidak normal, bahkan lebih kencang dari
pada setelah meminum dua gelas espresso. Tapi ini tetap harus disampaikan, gue
yakin dia pasti mau mengerti.
‘Kayaknya, kita harus kayak dulu lagi deh.’
‘Kayak dulu?’ Dia semakin bingung, jeda cukup lama diantara
kami. Mungkin pikirannya sedang ke masa lalu, mencari hal yang mungkin ada
hubungannya dengan apa yang baru gue sampaikan.
‘Kita masih masih saling kenal, tapi jaga jarak... Kayak dulu
lagi, ya…’
‘Kenapa, kak?‘
Entah kalimat apa yang lebih baik lagi untuk mengakhiri
cerita ini, tapi gue rasa semuanya sudah cukup jelas. Gue dan Dia memang tidak
memilik status atau hubungan khusus, hanya dua orang yang kembali bertemu namun
dalam bentuk hubungan baru; teman. Semakin kami tumbuh, semakin kami menjadi
tua ada banyak sekali dari dirinya yang membuat gue seperti ingin kembali mengulangi
hubungan yang lalu. Tapi hati kecil gue berkata tidak.
Gue cukup tau bahwa Dia sudah bahagia dengan pasanganya
sekarang, dan orangtua Dia juga menyukai lelaki itu. Jadi, untuk apa gue tumbuh
sebagai benalu diantara mereka? Menghabiskan waktu untuk mengurusi hubungan
orang lain, sementara disini gue juga ingin bahagia dengan pilihan gue dan
wanita yang memilih gue.
- - - // - - -
Sebenarnya tidak ada kebetulan yang tidak disengaja. Semesta sudah merancang, masalah baik atau buruk tergantung bagai mana kamu menanggapinya. Tapi yang harus kamu tau, semua ada hikmahnya namun kadang tertutup oleh hal-hal yang kamu tidak suka.
Sebuah perpisahan memang yang harus kamu ikhlaskan pada
waktunya.
Kegagal-kegagalan gue selama ini dalam merajut kisah dengan banyak
perempuan telah membuat gue semakin tegar. Semua berawal dari minggu sore di
KFC Duta Mall, gue sedang bersantai sambil ngemil kentang dan mocha float, saat
itu gue sedang duduk di area out door dari dalam terlihat sosok mantan pacar
yang sedang jalan berdua dengan pacar barunya dan harus gue akuin pacar barunya
lebih ganteng dari gue. Itu yang bikin sakit banget.
Malamnya gue enggak bisa tidur padahal besok senin gue harus
menghadapi ulangan Matematika, gue susah tidur sampai tengah malam. Dan saat
itu juga entah kenapa gue menyalakan laptop, membuka blog, dan menumpahkan
segala kegelisahan disana. Rasanya lega.
Siapa mengira tulisan cengeng dan remeh itu ternyata membuat
gue sampai ke titik ini.
Jadi, jangan pernah memandang patah hati sebagai hal yang
terus disesali lalu harus dilupakan sepenuhnya. Bisa jadi hal yang membuat
porak-poranda hati mu malah menjadi karya yang bisa dinikmati. Tak selamanya penyesalan
di masa lalu ada untuk kita tangisi, tapi dia bisa juga ada untuk kita
tertawakan. Tinggal diberi waktu untuk menjadi cerita patah hati yang lucu,
seperti buku Diary Anak Magang.
Tak selamanya kisah kegagalan dalam sebuah hubungan dengan
berbagai orang ada untuk kita sesali, tapi bisa juga untuk kita bagi bersama
mereka yang lukanya bahkan jauh dari sekedar urusan cinta. Tinggal kita beri
waktu untuk berdamai dengan diri sendiri hingga akhirnya bisa dinikmati dan
bermanfaat untuk mereka yang membutuhkan, seperti buku Elegi – Pertemuan adalah
perpisahan yang menunggu waktu.
Siapa sangka hal cengeng yang gue rasakan membawa gue sampai
ke titik ini, dari kisah patah hati dan hal absurd dalam hidup gue yang ditulis
ternyata bisa menjadi kisah yang membuat banyak orang terhibur dan dijadikan
pengalaman yang menarik.
Dan siapa sangka, satu hari di bulan Januari membuat hati ini
seperti ada yang berbeda sejak suara itu memanggil pertama kali.
‘Adit, ya?’
Semesta punya cara masing-masing untuk memberikan sinyal ke
kita, bagai mana kita bisa merasakan bahwa orang yang sedang kita tatap adalah
dia yang akan menemani hari-hari kita hingga masa tua tiba.
Dan… Sejak temu itu, entah kenapa aku tidak mampu membayangkan ; Bagaimana jadinya saat kau menikah dengan orang lain, selain aku…
Teruntuk siapa pun kalian yang membaca hingga kalimat ini.
Tak usah menyesali yang sudah berlalu, cobalah untuk bangkit dari kasur, usap
tangis mu yang sudah terlanjur mengalir, buktikan bahwa kamu bisa jauh lebih
bahagia tanpa Dia.